TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Sukardi bergidik menyaksikan ribuan penumpang mengular di stasiun-stasiun kereta rel listrik (KRL) setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan masa pembatasan sosial berskala besar transisi atau PSBB Transisi. Kekhawatiran pengguna KRL aktif itu bertambah lantaran pergerakan penumpang di dalam gerbong mulai padat sehingga protokol jaga jarak fisik atau physical distancing tak terlampau optimal diterapkan.
"Ngeri, tapi tidak ada pilihan lagi. Moda transportasi umum saya untuk bekerja hanya itu," tutur Ardi--panggilan karib Sukardi--saat dihubungi, Kamis, 11 Juni 2020.
Karyawan swasta asal Tangerang Selatan yang bekerja di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, ini saban hari harus menempuh perjalanan kereta selama 1,5-2 jam. Ia secara rutin menaiki kereta dengan rute Stasiun Rawa Buntu tujuan Stasiun Gondangdia.
Ketika pemerintah provinsi melonggarkan PSBB dan Kementerian Perhubungan meningkatkan daya angkut transportasi massal termasuk KRL, Ardi memperkirakan risiko penularan virus Corona bakal semakin tinggi. Maka, ia secara mandiri telah menyiapkan pelbagai langkah antisipasi.
Calon penumpang menunggu Kereta Rel Listrik (KRL) di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin 25 Mei 2020. PT Kereta Commuter Indonesia atau KCI melaporkan volume pengguna KRL saat pembatasan operasional di hari Lebaran 2020 turun 90 persen dibanding tahun sebelumnya, hal itu merupakan imbas dari pembatasan jam operasional yaitu pada pagi hari pukul 05.00 - 08.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 - 18.00 WIB. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
"Selain menambah alat perlindungan diri (APD), saya akan berusaha memilih lokasi di pojok gerbong. Sebisa mungkin di dalam kerumunan menunduk dan tidak bersemuka dengan orang lain," kata Ardi.
Tak jauh beda dengan situasi di KRL, kondisi di halte maupun di dalam bus TransJakarta dan armada-armada di wilayah aglomerasi lain juga tampak sudah dipadati penumpang. Gambaran kondisi ini berdasarkan pantauan Tempo di Halte Slipi Petamburan pada Rabu, 10 Juni.
Pada saat yang sama, headway atau waktu tunggu bus masih terlampau lama. Akibatnya, beberapa penumpang berupaya merangsek masuk ke dalam armada meski sudah diimbau oleh petugas.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berpendapat kebijakan pemerintah terkait pelonggaran transportasi akan berisiko tinggi bagi munculnya klaster-klaster baru penularan virus corona. "Sebab pemerintah belum berhasil mengendalikan wabah Covid-19," tutur Tulus.
Menurut Tulus, semestinya pemerintah tetap memberlakukan maksimal kapasitas 50 persen dari jumlah kursi. Sebelumnya, Kementerian Perhubungan memang menghapus aturan tersebut dan melenturkannya dengan peningkatan kapasitas armada angkut sebesar 70 persen untuk transportasi jarak jauh dan 45 persen untuk KRL dari sebelumnya 35 persen.
Aturan itu termaktub dalam Surat Edaran Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 7 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2020. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan kenaikan keterisian armada bisa mendorong bisnis pengusaha angkutan. Namun, ia menekankan kebijakan ini harus disertai dengan protokol pencegahan penularan virus.
Vice President Corporate Communications PT Kereta Commuter Indonesia Anne Purba mengatakan entitasnya telah memaksimalkan upaya untuk menjalankan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19 di KRL Jabodetabek. Selain tetap membatasi kapasitas angkut, ia memastikan seluruh pengguna diwajibkan menggunakan masker dan disarankan melengkapi dengan pelindung wajah (face shield).